Ratu Pondan (waria) tercantik Asia
Ratu Transgender ( Waria ) Tercantik se-Asia. Namanya adalah Treechada Manyaporn, biasa dipanggil sehari-hari Poy. “Wanita” cantik asal Thailand ini, yang mempunyai tinggi badan 171 cm, dan berat badan 48 Kg, sudah beberapa kali memperoleh penghargaan atas kecantikannya itu, yaitu : 1). Miss Tiffany ( 2004 ) ; 2). Miss International Queen ( 2004 ) ; 3). Miss Asian Trans ( 2007).
Berbicara mengenai ‘waria’ di Indonesia dewasa ini ( sejalan dengan diajukannya RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi ), agaknya cukup menggugah rasa simpati bagi beberapa kalangan warga masyarakat, termasuk saya. Mengapa, sebab pihak-pihak yang sedang berjuang menggolkan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi sepertinya juga berusaha sebisa munkin ‘mengenyahkan’ waria ini dari kehidupan bermasyarakat. Dimana-mana , di TV, di tiap khotbah-khotbah agama, diseru-serukan supaya waria ‘bertobat’. Juga, diserukan supaya TV tidak memperkenankan tampilnya waria dalam acara-acara apapun juga, terutama Entertainment / hiburan. Sesungguhnya, dosakah menjadi waria bagi kehidupan kemanusiaan ? Haruskah waria ini ‘dilenyapkan’ dari pergaulan hidup bermasyarakat ? Apakah mereka sampah masyarakat ? Marilah kita melihat bagaimana agama-agama dan aliran-aliran kepercayaan memandang keberadaan waria ini.
PANDANGAN BEBERAPA AGAMA Menurut pandangan beberapa agama, hubungan homoseks dianggap sebagai suatu penyimpangan dan perbuatan ‘mesum’, sehingga mereka akan menerima balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka. Pandangan buruk yang diberikan kepada Waria oleh beberapa agama-bisa dimaklumi karena waria ini seolah-olah bukan makhluk yang diciptakan Tuhan, sebab Tuhan hanya menciptakan Langit dan Bumi, Laki-laki dan Perempuan, beserta semua hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan , sebagaimana kisah ‘Penciptaan’ yang digambarkan dalam Perjanjian Lama, Kejadian 1 : 26 – 28. Sehingga, waria tidak termasuk diantara ciptaan-ciptaan itu, sebab dikatakan laki-laki, hanya karena fisiknya saja , tetapi dikatakan perempuan, hanya kondisi-batinnya saja, jadi ; laki-laki tulen bukan, perempuan tulen juga bukan.
WARIA MENURUT BUDDHA-DHAMMA Sang Buddha tidak pernah menyatakan bahwa alam-semesta ini diciptakan oleh Tuhan ataupun oleh Samma-Sambuddha. Terjadinya alam-semesta dan makhluk-makhluk adalah murni karena kekotoran batin / kebodohan-batin primordial , dan sejak itulah terjadi alam-semesta dan bekerjanya Panca-Niyama ( Lima Hukum Alam, termasuk diantaranya Hukum Karma ). Naskah-naskah Buddhis mengungkapkan, bahwa jenis kelamin seseorang bisa berubah dalam satu kehidupan, dan juga antara kehidupan / tumimbal-lahir. Dalam Kitab Vinaya, ada referensi tentang seorang Bhikkhu yang berkarakteristik seksual seperti wanita, dan seorang Bhikkhuni yang berorientasi seksual seperti laki-laki ( Vin. III. 35 ). Dalam kedua kasus ini, Sang Buddha menerima hal ini dan hanya mengatakan bahwa mantan Bhikkhu ( yaitu Bhikkhu yang mempunyai kecenderungan orientasi seksual seperti wanita ) sebaiknya mengikuti peraturan Bhikkhuni, dan mantan Bhikkhuni sebaiknya mengikuti peraturan Bhikkhu. Pergantian jenis kelamin dan orientasi batin tersebut dianggap berkaitan dengan karma dan pengarahan batin seseorang secara khusus, kearah tersebut. Tapi menurut agama Buddha, pergantian jenis kelamin tidak membatasi potensi spiritualitas seseorang. Kelainan jenis kelamin, seperti hermaprodit juga disinggung dalam agama Buddha. Hermaprodit adalah orang yang berkelamin dua jenis. Dalam Kitab Vinaya, disebutkan adanya kemungkinan seorang hermaprodit menggoda Bhikkhu atau Bhikkhuni, sehingga tidak boleh ditasbihkan menjadi anggota Sangha / Pasamuan para Bhikkhu / -ni ( Vin.I.89 )
Seseorang dilahirkan menjadi hermaprodit akibat karma masa lampau yang tak baik, salah-satunya adalah melakukan hubungan homoseksual. Perbuatan homoseksual bagi ummat awam dan para perumah tangga tidaklah dikecam secara spesifik, walau dianggap sebagai salah satu bentuk dari kegiatan seks yang menyimpang. Sehingga, Buddha-Dhamma tidak pernah menganjurkan untuk ‘mengisolir’ apalagi melenyapkan keberadaan kaum homoseksual ini dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, sebagai pengecualian, perbuatan homoseksual yang terjadi dikalangan para Bhikkhu termasuk sebagai perbuatan melanggar Sila, sama seperti perbuatan-seksual lainnya, termasuk masturbasi sekalipun, karena Bhikkhu/-ni sudah harus tidak melakukan perbuatan “Abrahmacariya” ; perbuatan tidak suci yang tidak sesuai perilaku petapa suci. Dalam Vin.IV.288-9 dinyatakan bahwa dua Bhikkhuni yang berbaring bersamaan di atas sofa merupakan pelanggaran Sila / Moralitas. Nuansa “homo” yang lebih halus tercatat dalam AN.III.270, dimana Sang Buddha mengingatkan bahwa seorang Bhikkhu sebaiknya tidak terlalu berdedikasi terhadap Bhikkhu lain yang menjurus pada perasaan “sayang” , karena dikhawatirkan ia tidak akan setia kepada Bhikkhu yang lainnya, akan tersinggung bila Sangha menghukum Bhikkhu favoritnya, dan tidak mendengarkan Dhamma dari Bhikkhu lain. Agama Buddha memandang homoseks sebagai salah satu bentuk kehausan terhadap kenikmatan ( kama-tanha ) semata, yang tidak perlu dikecam dan dikucilkan apalagi ‘dilenyapkan’ dari kehidupan bermasyarakat. Agama-Buddha juga tidak menganggap bahwa para homoseks harus bertobat, karena mereka tidak menyalahi / berdosa kepada siapapun juga, kecuali hanya merupakan wujud penyimpangan orientasi seksual, yang itu berhubungan dengan diri pribadinya sendiri, karmanya sendiri.
source : http://suterakasih52.blogspot.com
Ulasan
Catat Ulasan